Monday, August 25, 2014

Wilayah Tak Bernama




Kami bertemu diantara dingin yang menyekap hati.
Kami disandera di wilayah paling indah yang memang telah disiapkan Tuhan untuk kami.
Kami menenun waktu diwilayah ini, yang belum sempat kita namai.
Telah kami rundingkan beberapa nama yang layak untuk wilayah ini.
Tapi tak satupun mampu mewakili keindahannya.

Wilayah ini.
Dimana kami selalu bermain.
Kami isi dengan karangan bunga hasil karya kami sendiri.
Tak ada sekat diwilayah ini.
Tak ada tuas untuk menjauhkan kami.
Kami bahagia disandera di wilayah ini.

Entah.
Ini membingungkan.
Meski kami disekap, kami tak sekalipun dikekang.
Bahkan Tuhan menyuguhkan banyak sekali keindahan lewat cara-cara magisnya.

Tuhan,
Tolong beri tau kami wilayah macam apa ini?
Mengapa seolah hanya kami yang mampu bernafas di wilayah yang maha indah ini?
Tuhan, wilayah ini luas.
Terlampau luas.
Sangat luas untuk diisi dua orang saja.
Tapi yang kami tau, tak satupun dari kehendakmu berjalan jika tak beralasan.

Tuhan, jika engkau sandera kami disini.
Ijinkan kami berdua hidup dengan bermacam-macam rasa di wilayah ini.
Ajarkan kami tentang kemurnian jiwa.
Ajarkan kami menunduk di hadapanmu.
Ajarkan kami merawat dan mengisi wilayah ini dengan cinta.
Ajarkan kami membangun istana yang kokoh diwilayah ini.
Ajarkan hingga kami menjadi “SATU”

Tuhan, kami bahagia kau sandera di wilayah ini.
Maafkan jika kami tak mampu menamai wilayah ini.
Tapi kami berjanji.
Meski wilayah ini tak bernama.
Kami akan mewarnainya dengan suka cita yang tulus.
Kami akan mempuisikannya dengan penghayatan luar biasa.
Kami akan isi dengan ketulusan jiwa, untuk berjuang menempuh proses.

Wilayah ini, tak bernama.
Kami bersedia menjaga dan merawatnya.
Tuhan, terimakasih.
Kami akan tetap mengadu rasa disini.
Sampai semua berjalan beriring rindu yang panjang.
Sampai kami tak sadar bahwa kami mendiami wilayah ini berabad-abad.

Wilayah tak bernama,
Jaga istana kami.
Tuhan,
Kami tak tau kalimat yang pas untuk berterimakasih.
Maafkan kami.



Tunggulah, Aku Akan Pulang




Ada putaran yang melesat secepat cahaya, kornea matapun mustahil menangkap putarannya, di sebuah pusaran yang dahsyat aku dihisap dan terlempar kesana,
Dibawanya aku kesana, di jingga dan pelangi yang berada di satu atap bernama langit,  ditemani gadis tak bernama,
Dengannya menikmati jingga dan pelangi.
Kita menikmatinya di bukit yang luas dengan satu pohon rindang yang terukir puisi kecil tentang kisah sederhana. Kau membawa bunga hasil dari petikanku tadi, dan aku menyanyikan lagu kesayangan kita dengan gitar tua sarat cerita, dibawah jingga yang berpelangi dan diatap tak bertuan bernama langit. Angin bergantian meniup rambutmu tapi kulihat dia tak cukup membuatnya berantakan, kau terus mematrikan pandanganmu di kaki-kaki senja, mendoakan agar malam nanti langit tetap indah walau tak jingga.
Aku melihat ada cermin yang menghadap jiwa, dimatamu.
Saat malam menjemput, melahap jingga dan pelangi, telah kusiapkan api unggun kecil dengan hangat yang cukup untuk mendekap kita berdua, memanggang sedikit sosis dan jagung bakar untuk  menemani syahdu suara api yang gemiricik membakar kayu. Suara binatang malam menjelma menjadi nyanyian pengiring terbaik, bulan adalah lampion teranggun, sedangkan bintang adalah penari paling lincah yang menghibur, jatuh kesana kemari, berpindah. Kau bersandar pada bahuku untuk ceritakan apa saja keluh mu tentang dunia. Sampai waktu bagai pak tua, yang tak secepat biasanya.
Kau memandangiku dengan jiwa dan rasa. Menarik ku masuk kesana dan merasakan apa yang kau rasakan. Menggadengku bermain menulusuri petak demi petak,  di jiwamu aku terkunci rapat. Anehnya aku tak ingin keluar, karena telah kudapati oase ditengah kehampaan dan fatamorgana. Di jiwamu.
Dibukit yang luas ini, hamparannya menyekap jiwa kita berdua. pohon yang rindang ini memayungi jiwa kita dari hujan anak panah dari busur  kesedihan, dan di api unggun kecil ini mencegah dingin menggigilkan jiwa dan hati kita.
Kau dan aku bercermin dari mata kita masing-masing, dari matamu aku bisa melihat keberadaanku begitu kecil dan apa adanya, entah apa yang kau lihat dari mataku, aku ta sepatutnya tau. Pantulan dari api unggun, guyuran dari benda langit yang duduk manis dipelataran langit, membiaskan semua cinta yang meyusupi nadi dua manusia ini.
Ada gelombang yang begitu teratur diperedaran darah, ada juga getaran yang hebat dalam hati, kau memeluk jiwaku dari arah manapun, tak kau biarkan satu sisipun terbebas dari dekapan, aku membeku disana. Merasakan tarikan nafas semesta yang memberi roh pada sudut jiwa yang kosong.
Kau tarik ujung dari ketulusanmu dan mengikatkannya rapat ditengkuk ku, kau cekik aku dengan cinta yang suci sampai aku menagis dan tersadar bahwa yang selama ini mestinya aku perjuangkan adalah kamu. Kau membuatku menangis hebat, kau tekuk lututkan semua keegoisanku, kau robohkan begitu saja tembok dalam diriku, sungguh aku tak bisa berbuat banyak. Dipertempuran dalam jiwa kita berdua, dimedan yang kita bangun sendiri, aku mengakui kekalahanku.
Aku tak menyangka aku menemukan banyak warna disini, yang tak bisa aku lukiskan satu warnapun dikanvas dan di kertas manapun. kau lahap aku mentah-mentah di dalam goa yang sepi dan menggema suara-suara semesta. Kebodohanku dimsalalu kau jadikan bunga, lantas aku bisa apa untuk memberimu sesuatu? Jika kekonyolan dan kebodohanku saja bisa kau rangkai menjadi bunga untuk dipajang dirak-rak kehidupan.
Aku tak bisa memberimu apa-apa. Aku hanya mampu memandang matamu dan melihat aku berada disana, aku hanya mampu bercermin pada ketulusan jiwamu untuk melihat seberapa kotor ego ku, aku hanya mampu merasakanya, dan diam.
Bermilyaran kata aku dengar, tapi tak sedikitpun bibirmu bergerak dan terbuka. Kau ini manusia macam apa. kau seperti puisi yang disusun Tuhan dan dibacakan dengan indah oleh sayup-sayup hidup.
Susunan kayu dari api unggun tergletak dan tak berbentuk. Merata menjadi abu, hanya ada sisa asap yang berterbangan ikhlas.
Malam yang kita habiskan untuk diam saling mengenal. Dari berjuta-juta kalimat. Hanya satu yang dimengerti dan bisa di dengar dengan nyata. Bahasa jiwa namanya. Dan kau malam itu telah mengatakannya padaku.

Pagi.
Pohon rindang pun sudah mulai menyatap sarapanya dengan menu favoritnya, hangat sinar matahari. Langit juga sudah berevolusi dari jingga-hitam-dan sekarang memutih. Benda langit juga mulai mengisi energi dan mulai bekerja nanti untuk pendarannya yang memukau, burungpun tak mau mengecewakan awal pagi dan membukanya dengan kicauan bernada dasar ketulusan dan suka cita.

Dan aku pun terbangun.
Untuk gadis di selembar mimpiku tadi, turunlah menjadi nyata. Hiduplah denganku disakitnya hidup.
Sungguh, “Aku menyayangimu”.
Jika kau ada, kelak akan ku ceritakan mimpiku ini kepadamu, bahwa kita pernah duduk diam di bawah pohon rindang dan ditengah luasnya bukit, dibawah senja. Berdua saja.
Aku tak merasa ini mimpi, kita benar-benar berada disana. Pusaran semesta yang menyedot kita dan melempar kesana, di tempat itu. Mempersilahkan kedua jiwa saling bediam dan merasakan.
Tak ada ada bahasa dari mulut kita, hanya bahasa jiwa.

“Tunggulah aku dirumah, dan besiaplah mendengar ceritaku. Aku akan pulang”.