Thursday, October 2, 2014

Telah Lahir Aku





Wahai gadis disebelahku, tengoklah kearah sendu dibalik dua cermin jiwa dimataku,
Aku akan memberi tau sedikit hal yang sering aku bicarakan kepada langit-langit saat sepi menghunus malamku.
Gadis desebelahku, sediakan sedikit waktu untuk diam sejenak menyimak lisan ku.
Dan yakinkan aku.
Aku bukanlah sosok sempurna yang selalu didamba, aku bukanlah bingkisan istimewa, bukan juga yang ditungu-tungu karena indah.
Aku tak mampu membangun anak tangga beribu-ribu untuk mengajakmu ke bulan, apalagi untuk terbang. Aku hanya bisa merayumu duduk manis disini, mendengarkan cerita usang susunanku dari masa ke masa.
Jangan tatap aku curiga! Aku bukan badut yang diundang untuk menghibur lalu pulang seusai dapat upah, aku tak butuh imbalan.
Arahkan senyum mu ke arah ini, tusukkan! Tancapkan tepat di mataku. Aku ingin kesakitan dan merasakan perih, keluarkan air mataku. Jika kau berhasil, artinya kau satu-satunya yang mampu membuatku diam dan tak berbuat banyak, dan sebagai gantinya kau harus siap aku jatuh cintai setiap hari
.
aku sering mengatakan sesuatu pada ranting dan daun melalui angin, aku sering menitipkan hujan melalui awan dan sore, aku juga sering membisikan satu dua kata kepada bayang-bayang melalui ketakutanku. Semua yang kubicarakan kepada mereka adalah mengenai mu. Jika aku adalah pria yang hebat, sudah pasti dan jelas aku mampu membuatmu nanar saat mendengarkan ceritaku.
Coba dengar dan masuk perlahan melalui celah-celah kecil yang ada dalam sekat yang dibuat angin. Pejamkan matamu dan akui keberadaanku disampingmu.
Dan bersiaplah dari sekarang untuk tetap nyaman mendengar.

"Kau berhak tau, aku pria penuh keterbatasan, aku tak bisa banyak,  tapi aku harap kau selalu meyakinkan hatimu untuk tetap menerimaku duduk disampingmu. Aku mengakui, sebelum denganmu sekarang, aku pernah berapi-api berjuang menempuh jalan panjang untuk sampai di hati perempuan yang sudah kau ketahui namanya,  aku tak bisa menyebutnya disini. Aku mengakui aku pernah terlalu dalam berharap pada perempuan yang telah kau ketahui namanya. Aku mengakui, aku pernah beradu dengan sakit untuk alasan yang tak jelas.
Aku mengakui aku pernah merasa hilang bertahun-tahun, mati dalam pengharapan yang membabi buta dan  aku sendirian menempuh terjal, tapi telah ku dapati banyak hal yang perlahan membuat ku mengerti.
Dan aku mengatakan ini kepadanya lewat diamku:
 "Maafkan aku, aku terlalu lancang masuk dan tak permisi, kini aku tau, rumah ini bukan tempat ku untuk pulang". Aku mengaku telah ku katakan Maaf pada perempuan itu. Karena bagiku kalimat itu adalah kalimat paling tepat untuk beranjak dan belajar dari semuanya.
Setelah sekian ribu mil berjalan, setelah aku temukan titik untuk memulainya dari awal. Kini aku menjumpai dirimu, dengan segala macam bentuk kesedihan untuk sampai disini, kini aku meilihmu untuk tempat menghelakan nafasku, aku pilih tempatmu untuk aku jadikan sandaran paling sejuk seusai berjalan bermil-mil.
Apa kau lihat ada yang tak beres dengan jatungku? Jika iya tolong pulihkan,
Kau lihat ada yang tak beres dengan jiwaku, jika iya tolong rapikan. Karena tak mungkin aku baik-baik saja sesudah terombang ambing hebat.
Sejujurnya, aku takut kau tak yakin kepadaku, bahwa kini setelah bertahun-tahun berlalu aku mengatakan untuk memilihmu disini, setelah mendengarkan semuanya aku harap kau mampu memaklumi kegilaan dan kebodohanku, tak ada yang salah dengan ketidak yakinan mu, karena sampai sekarang aku tak pernah mampu menjawab pertanyaanmu "masih ada rasa untuk perempuan itu?"
Aku tak berani menjawab, untuk perempuan seperti dirimu, yang sudi merawat luka ku, dan sudi memulihkan tenaga serta mengatur langkahku kembali, aku rasa kau tak pantas mendapat jawaban dari pertanyaanmu itu. Maka, tugasmu sekarang adalah melihatku  memberi perbuatan nyata atas jawaban yang sekiranya kau mengerti seiring perjalanan denganku nanti. Tak ada salahnya kau ragu denganku, tak ada salahnya kau bertanya seperti itu. Kau tau? Semua yang ku jumpai dahulu sebelum bertemu denganmu adalah alasan yang membentuk pendewasaanku sekarang. Karena Tuhan tak pernah memberikan sesuatu yang salah dan tak ada maksud.
Jika kau cemburu dan marah tentang sifat dan rasaku kepadanya bertahun-tahun lalu itu juga tak jadi masalah, karena aku yakin pada titik dimana kita akan mengerti semuanya nanti, kita akan tersenyum, merasakan tumbuh dengan kedewasaan yang hakiki. setelah jawaban semesta merobohkan tembok keraguan yang menjadi sekat pada jiwa kita."

Untuk gadis disebelahku ini, pandanglah mataku. Telah kau dengar ceritaku ini. Apa kau sudi membuang keraguanmu?
Kau melihatku? Aku kini berdiri, jantung dan jiwaku membaik, ini berkat kesabaranmu merawatku.
Tetaplah duduk disampingku, lalu sandarkan kepalamu di pundak ku, rasakan keraguanmu hilang perlahan. Gengamlah tanganku, rasakan betapa kuat aku sekarang, jangan lepaskan.
Kini aku adalah pria yang lahir kembali, dan aku memilihmu, besedialah.



Monday, August 25, 2014

Wilayah Tak Bernama




Kami bertemu diantara dingin yang menyekap hati.
Kami disandera di wilayah paling indah yang memang telah disiapkan Tuhan untuk kami.
Kami menenun waktu diwilayah ini, yang belum sempat kita namai.
Telah kami rundingkan beberapa nama yang layak untuk wilayah ini.
Tapi tak satupun mampu mewakili keindahannya.

Wilayah ini.
Dimana kami selalu bermain.
Kami isi dengan karangan bunga hasil karya kami sendiri.
Tak ada sekat diwilayah ini.
Tak ada tuas untuk menjauhkan kami.
Kami bahagia disandera di wilayah ini.

Entah.
Ini membingungkan.
Meski kami disekap, kami tak sekalipun dikekang.
Bahkan Tuhan menyuguhkan banyak sekali keindahan lewat cara-cara magisnya.

Tuhan,
Tolong beri tau kami wilayah macam apa ini?
Mengapa seolah hanya kami yang mampu bernafas di wilayah yang maha indah ini?
Tuhan, wilayah ini luas.
Terlampau luas.
Sangat luas untuk diisi dua orang saja.
Tapi yang kami tau, tak satupun dari kehendakmu berjalan jika tak beralasan.

Tuhan, jika engkau sandera kami disini.
Ijinkan kami berdua hidup dengan bermacam-macam rasa di wilayah ini.
Ajarkan kami tentang kemurnian jiwa.
Ajarkan kami menunduk di hadapanmu.
Ajarkan kami merawat dan mengisi wilayah ini dengan cinta.
Ajarkan kami membangun istana yang kokoh diwilayah ini.
Ajarkan hingga kami menjadi “SATU”

Tuhan, kami bahagia kau sandera di wilayah ini.
Maafkan jika kami tak mampu menamai wilayah ini.
Tapi kami berjanji.
Meski wilayah ini tak bernama.
Kami akan mewarnainya dengan suka cita yang tulus.
Kami akan mempuisikannya dengan penghayatan luar biasa.
Kami akan isi dengan ketulusan jiwa, untuk berjuang menempuh proses.

Wilayah ini, tak bernama.
Kami bersedia menjaga dan merawatnya.
Tuhan, terimakasih.
Kami akan tetap mengadu rasa disini.
Sampai semua berjalan beriring rindu yang panjang.
Sampai kami tak sadar bahwa kami mendiami wilayah ini berabad-abad.

Wilayah tak bernama,
Jaga istana kami.
Tuhan,
Kami tak tau kalimat yang pas untuk berterimakasih.
Maafkan kami.



Tunggulah, Aku Akan Pulang




Ada putaran yang melesat secepat cahaya, kornea matapun mustahil menangkap putarannya, di sebuah pusaran yang dahsyat aku dihisap dan terlempar kesana,
Dibawanya aku kesana, di jingga dan pelangi yang berada di satu atap bernama langit,  ditemani gadis tak bernama,
Dengannya menikmati jingga dan pelangi.
Kita menikmatinya di bukit yang luas dengan satu pohon rindang yang terukir puisi kecil tentang kisah sederhana. Kau membawa bunga hasil dari petikanku tadi, dan aku menyanyikan lagu kesayangan kita dengan gitar tua sarat cerita, dibawah jingga yang berpelangi dan diatap tak bertuan bernama langit. Angin bergantian meniup rambutmu tapi kulihat dia tak cukup membuatnya berantakan, kau terus mematrikan pandanganmu di kaki-kaki senja, mendoakan agar malam nanti langit tetap indah walau tak jingga.
Aku melihat ada cermin yang menghadap jiwa, dimatamu.
Saat malam menjemput, melahap jingga dan pelangi, telah kusiapkan api unggun kecil dengan hangat yang cukup untuk mendekap kita berdua, memanggang sedikit sosis dan jagung bakar untuk  menemani syahdu suara api yang gemiricik membakar kayu. Suara binatang malam menjelma menjadi nyanyian pengiring terbaik, bulan adalah lampion teranggun, sedangkan bintang adalah penari paling lincah yang menghibur, jatuh kesana kemari, berpindah. Kau bersandar pada bahuku untuk ceritakan apa saja keluh mu tentang dunia. Sampai waktu bagai pak tua, yang tak secepat biasanya.
Kau memandangiku dengan jiwa dan rasa. Menarik ku masuk kesana dan merasakan apa yang kau rasakan. Menggadengku bermain menulusuri petak demi petak,  di jiwamu aku terkunci rapat. Anehnya aku tak ingin keluar, karena telah kudapati oase ditengah kehampaan dan fatamorgana. Di jiwamu.
Dibukit yang luas ini, hamparannya menyekap jiwa kita berdua. pohon yang rindang ini memayungi jiwa kita dari hujan anak panah dari busur  kesedihan, dan di api unggun kecil ini mencegah dingin menggigilkan jiwa dan hati kita.
Kau dan aku bercermin dari mata kita masing-masing, dari matamu aku bisa melihat keberadaanku begitu kecil dan apa adanya, entah apa yang kau lihat dari mataku, aku ta sepatutnya tau. Pantulan dari api unggun, guyuran dari benda langit yang duduk manis dipelataran langit, membiaskan semua cinta yang meyusupi nadi dua manusia ini.
Ada gelombang yang begitu teratur diperedaran darah, ada juga getaran yang hebat dalam hati, kau memeluk jiwaku dari arah manapun, tak kau biarkan satu sisipun terbebas dari dekapan, aku membeku disana. Merasakan tarikan nafas semesta yang memberi roh pada sudut jiwa yang kosong.
Kau tarik ujung dari ketulusanmu dan mengikatkannya rapat ditengkuk ku, kau cekik aku dengan cinta yang suci sampai aku menagis dan tersadar bahwa yang selama ini mestinya aku perjuangkan adalah kamu. Kau membuatku menangis hebat, kau tekuk lututkan semua keegoisanku, kau robohkan begitu saja tembok dalam diriku, sungguh aku tak bisa berbuat banyak. Dipertempuran dalam jiwa kita berdua, dimedan yang kita bangun sendiri, aku mengakui kekalahanku.
Aku tak menyangka aku menemukan banyak warna disini, yang tak bisa aku lukiskan satu warnapun dikanvas dan di kertas manapun. kau lahap aku mentah-mentah di dalam goa yang sepi dan menggema suara-suara semesta. Kebodohanku dimsalalu kau jadikan bunga, lantas aku bisa apa untuk memberimu sesuatu? Jika kekonyolan dan kebodohanku saja bisa kau rangkai menjadi bunga untuk dipajang dirak-rak kehidupan.
Aku tak bisa memberimu apa-apa. Aku hanya mampu memandang matamu dan melihat aku berada disana, aku hanya mampu bercermin pada ketulusan jiwamu untuk melihat seberapa kotor ego ku, aku hanya mampu merasakanya, dan diam.
Bermilyaran kata aku dengar, tapi tak sedikitpun bibirmu bergerak dan terbuka. Kau ini manusia macam apa. kau seperti puisi yang disusun Tuhan dan dibacakan dengan indah oleh sayup-sayup hidup.
Susunan kayu dari api unggun tergletak dan tak berbentuk. Merata menjadi abu, hanya ada sisa asap yang berterbangan ikhlas.
Malam yang kita habiskan untuk diam saling mengenal. Dari berjuta-juta kalimat. Hanya satu yang dimengerti dan bisa di dengar dengan nyata. Bahasa jiwa namanya. Dan kau malam itu telah mengatakannya padaku.

Pagi.
Pohon rindang pun sudah mulai menyatap sarapanya dengan menu favoritnya, hangat sinar matahari. Langit juga sudah berevolusi dari jingga-hitam-dan sekarang memutih. Benda langit juga mulai mengisi energi dan mulai bekerja nanti untuk pendarannya yang memukau, burungpun tak mau mengecewakan awal pagi dan membukanya dengan kicauan bernada dasar ketulusan dan suka cita.

Dan aku pun terbangun.
Untuk gadis di selembar mimpiku tadi, turunlah menjadi nyata. Hiduplah denganku disakitnya hidup.
Sungguh, “Aku menyayangimu”.
Jika kau ada, kelak akan ku ceritakan mimpiku ini kepadamu, bahwa kita pernah duduk diam di bawah pohon rindang dan ditengah luasnya bukit, dibawah senja. Berdua saja.
Aku tak merasa ini mimpi, kita benar-benar berada disana. Pusaran semesta yang menyedot kita dan melempar kesana, di tempat itu. Mempersilahkan kedua jiwa saling bediam dan merasakan.
Tak ada ada bahasa dari mulut kita, hanya bahasa jiwa.

“Tunggulah aku dirumah, dan besiaplah mendengar ceritaku. Aku akan pulang”.

Monday, June 2, 2014

Manuskrip Pengalihan Masa







Entah, bagaimana aku bisa sebodoh ini mengenali diriku sendiri. Aku tak punya cukup logika memaparkan apa yang terjadi, apa yang semestinya aku lakukan untuk melangkah dan keluar dari sini, aku tak tau.  Aku tak kenal siapa diriku, tak bisa bedakan mana  peluk mana tikam, aku disihir  berulang kali, hingga sadarku tak lagi teratur. Sebetulnya aku ingin sekali berlari ke arah sana, kearah manapun! Aku ingin lepas!! Aku ingin hilang!
Aku ingin melenyapkan bayangnya di ruang kerja di dalam otak ku.
Tapi apa daya, dia terlalu tangguh untuk dimusnahkan.
Aku seperti ikan kecil yang berada dalam aquarium, bersembunyi dan melarikan diri kemanapun, aku pasti tertangkap. Aku seperti bersembunyi dalam gelap, tapi dia bawakan matahari untuk menyorot ruang persembunyianku, aku tak bisa mengelak, aku tertangkap!
Sepertinya dia punya banyak sekali cara menemukan aku.
Dia punya banyak jalan, banyak sekali!
Dimana dia bisa sangat leluasa memilih jalan yang dia gunakan untuk memperdaya logika ku. Aku bersua pada malam, pada pagi, pada siang, pada petang, pada berbagai macam bagian waktu.
Tapi tak satu pun diantaranya yang layak menjadi tempat persembunyian paling aman.
Meski tak secara fisik dia mencari ku, tapi ini menyakitkan.
Mungkin aku yang masih congkak mengabungkan nalar dan perasaanku.
Dia sudah hilang, secara fisik dia sudah sangat jauh menghilang dari hadapanku.
Kenyataanya bagai aku berada di punggung bumi dan ia diatas kepala langit. Sangat jauh!!!
Tapi entah, apa yang membuat aku gila. Semua hal sepele mampu mengahdirkan ia, bahkan mampu lebih dekat dari daun dan embun.
Ah,, dia tak tampak raga tapi sama saja jika dia masih ada dalam pikirku.
Ia tak tampak secara nyata dihadapanku, tapi sama saja jika bayangnya masih menjadi siluet di antara diamku. 
Aku menata sadarku sedikit demi sedikit, perlahan-lahan. Mudah-mudahan semesta tak ber-angin kecang dan merobohkan. Aku menarik layar dan bersedia terombang ambing lagi, mudah-mudahan badai tak sekejam bayangnya dalam ingatku.
Aku mengatur nafas dan berusaha tegar, untuk beberapa kalimat ini. Untuk semua sikap yang aku pilih.
Aku mempersembahkan gerak ku untuk diam, aku mempersembahkan hidupku untuk mati, aku mempersembahkan ingatku untuk lupa. Mempersembahkan cerita singkatku untuk mengabadikan. Untuk menghargai proses dalam diri. Aku menyediakan persembahan alakadarnya. Untuk persembahan paling tepat pada konflik.
Kini aku mepersembahkan ini untukmu. Untuk menandai bahwa setidaknya ada cerita yang melibatkan kita. 
Berpendarlah, aku menunggu kabar baik tentang cahaya kisahmu dengan siapapun. Kini aku tak perlu terlalu dalam mengulasnya, karena semakin dalam dan memaparkannya satu demi satu, sama saja dengan menelan bom waktu.
Aku belajar dari semua persoalan yang sebetulnya aku buat rumit sendiri, aku sebetulnya tak perlu mengebu-gebu melupakan, karena semakin ingin melupakan akan semakin ingat.
Aku sama sekali tak perlu bersembunyi, karena sejatinya dia tak pernah mencari. Hanya aku telah tak sadar mengundangnya melalui cara-cara memalukan, melalui ingatan yang sebenarnya hanya pantas diingat, bukan didramatisir. Apapun yang kau berikan dalam ingatku, aku tau pasti bahwa kau adalah bagian dari proses menuju masa pengenalan diri.
Apapun caramu hadir disini, aku tau persis bahwasanya kau ingin menyapaku dengan penuh kewajaran yang indah.
Hidup adalah pengalihan dari masa ke masa.   
Aku masih mengenalimu, kau gadis yang baik hati, hinga sampai dimasa ini, kau masih sama.
Senang bisa menulis ini, artinya masih ada yang bisa diceritakan dan ini mengenai dirimu.
Sampai jumpa lain waktu...