Ada putaran yang
melesat secepat cahaya, kornea matapun mustahil menangkap putarannya, di sebuah
pusaran yang dahsyat aku dihisap dan terlempar kesana,
Dibawanya aku
kesana, di jingga dan pelangi yang berada di satu atap bernama langit, ditemani gadis tak bernama,
Dengannya
menikmati jingga dan pelangi.
Kita menikmatinya
di bukit yang luas dengan satu pohon rindang yang terukir puisi kecil tentang
kisah sederhana. Kau membawa bunga hasil dari petikanku tadi, dan aku menyanyikan
lagu kesayangan kita dengan gitar tua sarat cerita, dibawah jingga yang
berpelangi dan diatap tak bertuan bernama langit. Angin bergantian meniup
rambutmu tapi kulihat dia tak cukup membuatnya berantakan, kau terus mematrikan
pandanganmu di kaki-kaki senja, mendoakan agar malam nanti langit tetap indah
walau tak jingga.
Aku melihat ada
cermin yang menghadap jiwa, dimatamu.
Saat malam
menjemput, melahap jingga dan pelangi, telah kusiapkan api unggun kecil dengan
hangat yang cukup untuk mendekap kita berdua, memanggang sedikit sosis dan
jagung bakar untuk menemani syahdu suara
api yang gemiricik membakar kayu. Suara binatang malam menjelma menjadi nyanyian
pengiring terbaik, bulan adalah lampion teranggun, sedangkan bintang adalah
penari paling lincah yang menghibur, jatuh kesana kemari, berpindah. Kau
bersandar pada bahuku untuk ceritakan apa saja keluh mu tentang dunia. Sampai
waktu bagai pak tua, yang tak secepat biasanya.
Kau memandangiku
dengan jiwa dan rasa. Menarik ku masuk kesana dan merasakan apa yang kau rasakan.
Menggadengku bermain menulusuri petak demi petak, di jiwamu aku terkunci rapat. Anehnya aku tak
ingin keluar, karena telah kudapati oase ditengah kehampaan dan fatamorgana. Di
jiwamu.
Dibukit yang
luas ini, hamparannya menyekap jiwa kita berdua. pohon yang rindang ini
memayungi jiwa kita dari hujan anak panah dari busur kesedihan, dan di api unggun kecil ini
mencegah dingin menggigilkan jiwa dan hati kita.
Kau dan aku
bercermin dari mata kita masing-masing, dari matamu aku bisa melihat
keberadaanku begitu kecil dan apa adanya, entah apa yang kau lihat dari mataku,
aku ta sepatutnya tau. Pantulan dari api unggun, guyuran dari benda langit yang
duduk manis dipelataran langit, membiaskan semua cinta yang meyusupi nadi dua
manusia ini.
Ada gelombang yang
begitu teratur diperedaran darah, ada juga getaran yang hebat dalam hati, kau
memeluk jiwaku dari arah manapun, tak kau biarkan satu sisipun terbebas dari
dekapan, aku membeku disana. Merasakan tarikan nafas semesta yang memberi roh
pada sudut jiwa yang kosong.
Kau tarik ujung
dari ketulusanmu dan mengikatkannya rapat ditengkuk ku, kau cekik aku dengan
cinta yang suci sampai aku menagis dan tersadar bahwa yang selama ini mestinya
aku perjuangkan adalah kamu. Kau membuatku menangis hebat, kau tekuk lututkan
semua keegoisanku, kau robohkan begitu saja tembok dalam diriku, sungguh aku
tak bisa berbuat banyak. Dipertempuran dalam jiwa kita berdua, dimedan yang
kita bangun sendiri, aku mengakui kekalahanku.
Aku tak
menyangka aku menemukan banyak warna disini, yang tak bisa aku lukiskan satu
warnapun dikanvas dan di kertas manapun. kau lahap aku mentah-mentah di dalam
goa yang sepi dan menggema suara-suara semesta. Kebodohanku dimsalalu kau
jadikan bunga, lantas aku bisa apa untuk memberimu sesuatu? Jika kekonyolan dan
kebodohanku saja bisa kau rangkai menjadi bunga untuk dipajang dirak-rak
kehidupan.
Aku tak bisa
memberimu apa-apa. Aku hanya mampu memandang matamu dan melihat aku berada
disana, aku hanya mampu bercermin pada ketulusan jiwamu untuk melihat seberapa
kotor ego ku, aku hanya mampu merasakanya, dan diam.
Bermilyaran kata
aku dengar, tapi tak sedikitpun bibirmu bergerak dan terbuka. Kau ini manusia
macam apa. kau seperti puisi yang disusun Tuhan dan dibacakan dengan indah oleh
sayup-sayup hidup.
Susunan kayu
dari api unggun tergletak dan tak berbentuk. Merata menjadi abu, hanya ada sisa
asap yang berterbangan ikhlas.
Malam yang kita
habiskan untuk diam saling mengenal. Dari berjuta-juta kalimat. Hanya satu yang
dimengerti dan bisa di dengar dengan nyata. Bahasa jiwa namanya. Dan kau malam
itu telah mengatakannya padaku.
Pagi.
Pohon rindang
pun sudah mulai menyatap sarapanya dengan menu favoritnya, hangat sinar
matahari. Langit juga sudah berevolusi dari jingga-hitam-dan sekarang memutih.
Benda langit juga mulai mengisi energi dan mulai bekerja nanti untuk
pendarannya yang memukau, burungpun tak mau mengecewakan awal pagi dan
membukanya dengan kicauan bernada dasar ketulusan dan suka cita.
Dan aku pun
terbangun.
Untuk gadis di
selembar mimpiku tadi, turunlah menjadi nyata. Hiduplah denganku disakitnya
hidup.
Sungguh, “Aku
menyayangimu”.
Jika kau ada,
kelak akan ku ceritakan mimpiku ini kepadamu, bahwa kita pernah duduk diam di
bawah pohon rindang dan ditengah luasnya bukit, dibawah senja. Berdua saja.
Aku tak merasa
ini mimpi, kita benar-benar berada disana. Pusaran semesta yang menyedot kita
dan melempar kesana, di tempat itu. Mempersilahkan kedua jiwa saling bediam dan
merasakan.
Tak ada ada
bahasa dari mulut kita, hanya bahasa jiwa.
“Tunggulah aku dirumah, dan besiaplah mendengar
ceritaku. Aku akan pulang”.
0 comments:
Post a Comment